Kisah ini saya kutip dari buku Setengah Isi Setengah Kosong karya Parlindungan Marpaung. Bagi yang sudah pernah membaca sekedar hanya mengingatkan saja. Terutama para karyawan atau pegawai kiranya dapat menarik manfaat dari cerita ini. Judulnya aslinya adalah EQ di Tempat Kerja, sengaja saya ganti dengan Judul kisah dua orang pegawai biar mudah diingat saja. Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence=EQ) ini tidak khusus buat karyawan atau pegawai saja. EQ dapat diterapkan di lingkungan mana saja karena intinya adalah tentang hubunga antar manusia. Berikut kisahnya :
Dua orang pegawai, sebut saja Badrun dan Bahrun sama-sama bergabung sebagai pegawai baru di sebuah kantor. Tingkat kecerdasan yang mereka miliki (IQ) relatif sama.
Untuk meningkatkan kompetensi karyawan, kantor tempat mereka bekerja memberi kepada karyawan untuk mengambil kuliah sore. Dalam hal ini, Badrun tampaknya lebih aktif, sedangkan Bahrun-karena kesibukannya-tidak memiliki kesempatan serupa. Akan tetapi, pengetahuan Badrun yang semakin banyak ternyata tidak sebanding dengan caranya membawa diri di tengah lingkungan kerja.
Kerapkali dia sok pintar dan memotong pembicaraan orang tanpa mengenali dulu isi pembicaraan tsb. Tidak hanya itu, banyak keluhan yang muncul dari teman-temannya terhadap sikap Badrun. Hanya karena masalah sepele dia sering menunjukkan raut muka tidak bersahabat, membanting telepon ketika idenya tidak diterima, dsb.
Alhasil, Badrun semakin tidak disenangi oleh pelanggan maupun rekan-rekan pegawai. Sementara si Bahrun, yang notabene tidak memperoleh tambahan pengetahuan untuk mengembangkan diri ternyata memiliki tingkah laku yang berbeda dalam membina relasi. Dia lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Baginya, teman-teman kerja dan atasan adalah orang yang harus didengarkan serta dilayani sungguh-sungguh. Bahkan, di hadapan rekan-rekan kerja dan pimpinannya dia memosisikan diri sebagai pelayan.
Bahrun tahu bagaimana membagi waktu yang proporsional antara kepentingan pribadi dan kepentingan perusahaan. Ketika dia memegang dana anggaran belanja di kantor, dia mampu membuat pos tersendiri agar tidak berbaur dengan uang pribadinya. Di tengah-tengah unit kerjanya dia adalah smart people – pegawai yang disenangi. Alhasil, dalam waktu yang tidak terlalu lama Bahrun telah dipromosikan menjadi salah satu pejabat dilingkungan perusahaannya, mendahului rekan seangkatannya, Badrun.
Ilustrasi di atas kiranya dapat menunjukkan bahwa Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence=EQ) Bahrun lebih menonjol dibandingkan Badrun. Dan tak dapat dipungkiri bahwa kemampuan mengelola emosi jelas merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam membina hubungan antar sesama manusia karena penilaian sikap dan perilaku kita bukan dinilai oleh diri sendiri tetapi kita dinilai oleh orang lain.
Mengenai penjelasan tentang EQ ini akan saya tulis pada postingan selanjutnya.
Dua orang pegawai, sebut saja Badrun dan Bahrun sama-sama bergabung sebagai pegawai baru di sebuah kantor. Tingkat kecerdasan yang mereka miliki (IQ) relatif sama.
Untuk meningkatkan kompetensi karyawan, kantor tempat mereka bekerja memberi kepada karyawan untuk mengambil kuliah sore. Dalam hal ini, Badrun tampaknya lebih aktif, sedangkan Bahrun-karena kesibukannya-tidak memiliki kesempatan serupa. Akan tetapi, pengetahuan Badrun yang semakin banyak ternyata tidak sebanding dengan caranya membawa diri di tengah lingkungan kerja.
Kerapkali dia sok pintar dan memotong pembicaraan orang tanpa mengenali dulu isi pembicaraan tsb. Tidak hanya itu, banyak keluhan yang muncul dari teman-temannya terhadap sikap Badrun. Hanya karena masalah sepele dia sering menunjukkan raut muka tidak bersahabat, membanting telepon ketika idenya tidak diterima, dsb.
Alhasil, Badrun semakin tidak disenangi oleh pelanggan maupun rekan-rekan pegawai. Sementara si Bahrun, yang notabene tidak memperoleh tambahan pengetahuan untuk mengembangkan diri ternyata memiliki tingkah laku yang berbeda dalam membina relasi. Dia lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Baginya, teman-teman kerja dan atasan adalah orang yang harus didengarkan serta dilayani sungguh-sungguh. Bahkan, di hadapan rekan-rekan kerja dan pimpinannya dia memosisikan diri sebagai pelayan.
Bahrun tahu bagaimana membagi waktu yang proporsional antara kepentingan pribadi dan kepentingan perusahaan. Ketika dia memegang dana anggaran belanja di kantor, dia mampu membuat pos tersendiri agar tidak berbaur dengan uang pribadinya. Di tengah-tengah unit kerjanya dia adalah smart people – pegawai yang disenangi. Alhasil, dalam waktu yang tidak terlalu lama Bahrun telah dipromosikan menjadi salah satu pejabat dilingkungan perusahaannya, mendahului rekan seangkatannya, Badrun.
Ilustrasi di atas kiranya dapat menunjukkan bahwa Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence=EQ) Bahrun lebih menonjol dibandingkan Badrun. Dan tak dapat dipungkiri bahwa kemampuan mengelola emosi jelas merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam membina hubungan antar sesama manusia karena penilaian sikap dan perilaku kita bukan dinilai oleh diri sendiri tetapi kita dinilai oleh orang lain.
Mengenai penjelasan tentang EQ ini akan saya tulis pada postingan selanjutnya.
Comments